Kirab Malam 1 Suro 2025: Tradisi Sakral Keraton Surakarta Hadiningrat Menyambut Tahun Baru Jawa

Kirab Malam 1 Suro 2025: Tradisi Sakral Keraton Surakarta Hadiningrat Menyambut Tahun Baru Jawa


Surakarta, 26 Juni 2025 — Tradisi tahunan Kirab Malam 1 Suro kembali digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran untuk menyambut datangnya Tahun Baru Jawa, yang bertepatan dengan 1 Suro 1959 Tahun Jawa atau 1 Muharram 1447 H dalam kalender Hijriyah. Kirab ini merupakan salah satu warisan budaya sakral yang hingga kini masih lestari di tengah masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Surakarta.


Kirab pertama dimulai dari Pura Mangkunegaran pada pukul 19.00 WIB. Dalam prosesi ini, para abdi dalem, keluarga bangsawan, dan masyarakat umum yang telah mendaftar melakukan tapa bisu—berjalan kaki tanpa suara dan tanpa alas kaki mengelilingi pusat kota Surakarta. Rute kirab ini melintasi koridor Ngarsopuro, Jl. Slamet Riyadi, Jl. Kartini, Jl. RM Said, Jl. Teuku Umar, lalu kembali ke Pura Mangkunegaran.


Peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat berwarna hitam tanpa motif, sebagai simbol kesederhanaan dan penyucian diri. Kirab ini terbuka untuk umum dan menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di Surakarta.


Puncak acara Kirab 1 Suro dilaksanakan di Keraton Surakarta Hadiningrat pada pukul 23.59 WIB, dipimpin langsung oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XIII. Rangkaian kirab ini diawali dengan doa bersama dan ritual penyucian pusaka di Pendhapa Ageng Keraton.


Kemudian, tepat tengah malam, ribuan peserta berjalan dalam keheningan mengiringi pusaka-pusaka keraton dan Kebo Bule Kyai Slamet, yang dipercaya membawa keberkahan dan keselamatan. Kirab mengelilingi rute sepanjang 7–8 km melewati area Supit Urang, Alun-Alun Utara, Gladag, Jl. Jenderal Sudirman, Kapten Mulyadi, Veteran, Yos Sudarso, dan kembali ke keraton.


Kirab ini juga menerapkan laku tapa bisu, di mana semua peserta dilarang berbicara dan menggunakan alas kaki sebagai bentuk perenungan spiritual atas perjalanan hidup selama setahun terakhir, sekaligus harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang.


Tradisi Kirab Malam 1 Suro bukan sekadar ritual seremonial, tetapi sarat akan makna filosofis. Tradisi ini mencerminkan akulturasi antara budaya Jawa dan nilai-nilai Islam, di mana awal tahun digunakan sebagai momentum introspeksi, pembersihan batin, dan permohonan keselamatan kepada Tuhan.


Kehadiran Kebo Bule Kyai Slamet menjadi simbol perlindungan dan kemakmuran, yang dipercaya oleh masyarakat memiliki nilai spiritual tinggi. Selain itu, prosesi ini juga memperkuat identitas budaya masyarakat Surakarta dan mempererat hubungan antara keraton, masyarakat, dan pemerintah.


Kirab ini tak hanya diikuti oleh warga Surakarta, tetapi juga menarik perhatian wisatawan dan tokoh-tokoh nasional. Menteri Kebudayaan dan tokoh adat turut hadir sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya warisan nenek moyang. Masyarakat yang menyaksikan kirab dari pinggir jalan turut larut dalam suasana khidmat dan penuh makna.


Tradisi Kirab Malam 1 Suro menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat modern. Dengan kekhusyukan dan kesakralan yang terjaga, acara ini menjadi simbol keteguhan budaya Jawa dalam menghadapi zaman. Surakarta tidak hanya menjadi kota budaya, tapi juga kota spiritual yang merawat dan melestarikan warisan leluhur dengan penuh kehormatan.

Kirab pertama dimulai dari Pura Mangkunegaran pada pukul 19.00 WIB. Dalam prosesi ini, para abdi dalem, keluarga bangsawan, dan masyarakat umum yang telah mendaftar melakukan tapa bisu—berjalan kaki tanpa suara dan tanpa alas kaki mengelilingi pusat kota Surakarta. Rute kirab ini melintasi koridor Ngarsopuro, Jl. Slamet Riyadi, Jl. Kartini, Jl. RM Said, Jl. Teuku Umar, lalu kembali ke Pura Mangkunegaran.


Peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat berwarna hitam tanpa motif, sebagai simbol kesederhanaan dan penyucian diri. Kirab ini terbuka untuk umum dan menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di Surakarta.


Puncak acara Kirab 1 Suro dilaksanakan di Keraton Surakarta Hadiningrat pada pukul 23.59 WIB, dipimpin langsung oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XIII. Rangkaian kirab ini diawali dengan doa bersama dan ritual penyucian pusaka di Pendhapa Ageng Keraton.


Kemudian, tepat tengah malam, ribuan peserta berjalan dalam keheningan mengiringi pusaka-pusaka keraton dan Kebo Bule Kyai Slamet, yang dipercaya membawa keberkahan dan keselamatan. Kirab mengelilingi rute sepanjang 7–8 km melewati area Supit Urang, Alun-Alun Utara, Gladag, Jl. Jenderal Sudirman, Kapten Mulyadi, Veteran, Yos Sudarso, dan kembali ke keraton.


Kirab ini juga menerapkan laku tapa bisu, di mana semua peserta dilarang berbicara dan menggunakan alas kaki sebagai bentuk perenungan spiritual atas perjalanan hidup selama setahun terakhir, sekaligus harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang.


Tradisi Kirab Malam 1 Suro bukan sekadar ritual seremonial, tetapi sarat akan makna filosofis. Tradisi ini mencerminkan akulturasi antara budaya Jawa dan nilai-nilai Islam, di mana awal tahun digunakan sebagai momentum introspeksi, pembersihan batin, dan permohonan keselamatan kepada Tuhan.


Kehadiran Kebo Bule Kyai Slamet menjadi simbol perlindungan dan kemakmuran, yang dipercaya oleh masyarakat memiliki nilai spiritual tinggi. Selain itu, prosesi ini juga memperkuat identitas budaya masyarakat Surakarta dan mempererat hubungan antara keraton, masyarakat, dan pemerintah.


Kirab ini tak hanya diikuti oleh warga Surakarta, tetapi juga menarik perhatian wisatawan dan tokoh-tokoh nasional. Menteri Kebudayaan dan tokoh adat turut hadir sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya warisan nenek moyang. Masyarakat yang menyaksikan kirab dari pinggir jalan turut larut dalam suasana khidmat dan penuh makna.


Tradisi Kirab Malam 1 Suro menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat modern. Dengan kekhusyukan dan kesakralan yang terjaga, acara ini menjadi simbol keteguhan budaya Jawa dalam menghadapi zaman. Surakarta tidak hanya menjadi kota budaya, tapi juga kota spiritual yang merawat dan melestarikan warisan leluhur dengan penuh kehormatan.

Komentar